Tuesday, December 25, 2012

Harta Karun Untuk Semua

Harta Karun Untuk Semua
Cerpen Dewi Lestari

Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com datang. Ada satu buku yang langsung saya sambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff  The Secret Lives of Everyday Things". Buku itu tipis, hanya 86 halaman, tapi informasi di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan mil dari mana barang-barang kita berasal dan ke mana barang-barang kita berakhir.

Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan waktu ratusan tahun untuk musnah, saya sering merenung: orang gila mana yang mencipta sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa penggunaannya hanya dalam skala jam bahkan detik? Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh detik di tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah dan baru hancur setelah si pemakan permen menjadi fosil. Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat, tanpa deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion.

Harta Karun Untuk Semua
Dan sebagai konsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir rantai pengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi, berapa banyak pohon yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta. Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasa wajar-wajar saja, pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita bisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh kita sendiri? Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk mencuci secangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis daging burger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar 2,400 liter air. Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja kita menghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja di dalamnya? Limbah yang dihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat daripada berat chip itu sendiri.

Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai reaksi. Kita bisa frustrasi karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup yang tak bisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis karena tidak mau pusing. Yang jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka. Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun dan membedah jantung katak, dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung jawab akan alam ini telah disosialisasikan sejak kecil.

Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai, Pasar Baru, atau berjalanjalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan PKL: tidakkah semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan penduduk satu kota? Tapi kenapa barang-barang ini tidak ada habisnya diproduksi? Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang menggelontori pasar. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihat ratusan macam biskuit, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun: haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu? Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihi apa yang kita butuhkan? Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak berbatas. Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan panganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup memenuhi keinginan satu manusia. Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kacamata.

Seorang ekonom mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi. Seorang sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan. Tapi jika kita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan negara, negara adalah kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan individu, permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran serta kemauan kitalah yang pada akhirnya akan memungkinkan sebuah perubahan sejati. Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menjadi sangat menentukan.

Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protokol Kyoto, tidak perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap, setiap langkah kita—memilih merk, kuantitas, tempat, gaya hidup adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa depan seisi Bumi. Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya bekerja, tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannya jika tidak perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi saya bisa memilih membaca berita lewat internet atau membaca koran di tempat publik ketimbang berlangganan langsung. Bagaimana dengan fashion? Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di muka publik, saya pun belum bisa mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli busana lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat komitmen dengan lemari pakaian, yakni baju yang saya miliki tidak boleh melebihi kapasitas lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar.

Dan setiap beberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada baju yang tidak saya pakai setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah lagi. Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun dan sampo yang utuh tak disentuh. Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun', yang berisikan barang-barang yang harus keluar dari peredaran, karena jika dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi unsur manfaat. Harta karun ini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran. Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan bazaar. Para warga menyewa stand untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan sayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara penjual barang-baru baru. Karena bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas dengan harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga dari kampung sekitar. Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa saya mengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga punya barang bekas untuk disalurkan. Sama dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun yang entah harus diapakan.

Stand saya menjadi salah satu stand paling laris selama bazaar berlangsung. Dan kakak saya terkaget-kaget dengan penghasilan yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah dianggap sampah. Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara kreatif lain untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga disumbangkan. Namun yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen pembatasan diri. Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak kamar mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya... dengan diri sendiri.

Siapkah kita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu? Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri dari awal bersua aneka pilihan yang membombardir kita setiap hari, lalu sadar dan mawas akan rantai sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka diri untuk info dan pengetahuan ekologi adalah salah satu cara pembekalan yang baik. Walaupun sekilas tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong kresek yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang oleh sihir, dan hamburger yang kita makan tidak dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai barang-barang itu tidak akan hilang hanya karena kita menolak tahu. Banyak orang yang berkomentar pada saya, "Aduh, Wi. Kamu bikin hidup tambah susah saja." Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah.

Untuk itu kita justru harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih hidup yang lebih sederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahan kesadaran, tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi juga membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dijadikan alas kaki oleh industri demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri.

Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah. Selama ini kita adalah pembeli yang berlari. Dalam kecepatan tinggi kita bertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang sesungguhnya kita cari. Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan.


Advertisement

Monday, November 26, 2012

Cara Tidur Rasulullah SAW

bismillahirrahmanirrahim


Tidur adalah salah satu kebutuhan terpenting bagi tubuh dan jiwa kita, sekaligus merupakan nikmat dari Allah SWT yang tidak ternilai. Sayangnya tidak semua orang mengerti bagaimana cara tidur yang berkualitas tinggi seperti halnya Rasulullah Muhammad SAW. Berikut ini adalah tips singkat mengenai bagaimana cara beliau ketika akan tidur dan ketika bangun tidur, semoga bisa kita ikuti :) 


Ketika akan tidur:
  1. Berwudhu-lah seperti wudhu ketika akan sholat;
  2. Bacalah do’a sebelum tidur. Pilihlah salah satu dari contoh doa Rasulullah SAW di bawah ini:
    1. Bismika Allahumma Amut wa Ahyaa“, yang artinya: “Dengan nama-Mu ya Allah aku mati dan hidup”;
    2. Robbi qinii ‘adzaabaka yawma tab’atsu ‘ibaadaka“, yang artinya: “Ya Robbi, peliharalah aku dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu”;
    3. Alloohumma bismika amuutu wa ahyaa“, yang artinya: “Ya Allah, dengan Asma-Mu aku mati dan aku hidup”;
    4. Allahumma aslamtu nafsii ilaika wawajjahtu wajhi ilaika wafawwadhtu amrii ilaika wa alja’tu zhahrii ilaika raghbatan warahbatan ilaika laa malja-a walaa manja-a minka illaa ilaika. Aamantu bikitaabikalladzii anzalta wanabiyyikal ladzii arsalta“, yang artinya: “Wahai Allah, saya menyerahkan diriku kepada-Mu, menghadapkan mukaku kepada-Mu, menyerahkan semua urusanku kepada-Mu, dan menyandarkan punggungku kepada-Mu dengan penuh harapan dan takut kepada-Mu, tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari siksaan-Mu kecuali hanya kepada-Mu. Saya beriman dengan kitab yang Engkau turunkan dari nabi yang Engkau utus”.
  3. Bacalah surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas dalam posisi berbaring. Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah membaca ketiga surat tersebut setelah mengumpulkan kedua telapak tangannya dan meniupnya. Kemudian setelah selesai membaca, beliau mengusapkan kedua tangannya 3x ke seluruh badan yang mampu diusap, dengan dimulai dari kepala, muka, dan bagian depan badannya;
  4. Berbaringlah dengan memiringkan tubuh ke arah kanan;
  5. Letakkan tangan kanan di bawah pipi sebelah kanan;
  6. Dan tidurlah dengan tenang dan damai :)
Ketika bangun tidur:
  1. Berdoalah dengan doa yang beliau ajarkan ini: “Alhamdu lillaahil-lladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilayhin-nusyuur“, yang artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami mati, dan kepada-Nya kami kembali”;
  2. Usaplah bekas tidur dari wajah dengan tangan;
  3. Hiruplah air ke dalam hidung lalu keluarkan (semburkan) kembali. Ini disebut beristinsyaq dan beristintsaar;
  4. Sikat gigi (bersiwak);
Hal lain yang penting tentang cara tidur beliau:
  1. Tidurlah di awal malam setelah sholat Isya
  2. Jangan pernah tidur dalam posisi tengkurap (perut ada di bawah)
Nah, mudah kan? Silahkan dipraktekkan :)




alhamdulillahirabbilalamin
Referensi:
  1. “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat.” (HR. Al-Bukhari No. 247 dan Muslim No. 2710)
  2. Dari al-Barra` bin Azib, Rasulullah Muhammad saw pernah bersabda, “Apabila kamu hendak tidur,maka berwudhulah (dengan sempurna) seperti kamu berwudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan”.
  3. Al-Bara’ bin ‘Azib ra. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Muhammad saw bila berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa: Robbi qinii ‘adzaabaka yawma tab’atsu ‘ibaadaka (Ya Robbi, peliharalah aku dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu).” (HR. At Tarmidzi)
  4. Hudzaifah ra. berkata: “Bila Rasulullah Muhammad saw berbaring di tempat tidurnya, maka beliau berdoa: Alloohumma bismika amuutu wa ahyaa (Ya Allah, dengan Asma-Mu aku mat dan aku hidup). Dan jika bangun dari tidurnya beliau berdoa: Alhamdu lillaahil-lladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilayhin-nusyuur (Segala puji bagi Allah, yang telah menghidupkan daku kembali setelah mematikan daku, dan kepada-Nya tempat kembali).” (HR. At Tarmidzi)
  5. Dari Al Barra’ bin Azib ra berkata, “Apabila Rasulullah saw berada pada tempat tidurnya dan akan tidur maka beliau miring ke sebelah kanan, kemudian membaca: “Allahumma aslamtu nafsii ilaika wawajjahtu wajhi ilaika wafawwadhtu amrii ilaika wa alja’tu zhahrii ilaika raghbatan warahbatan ilaika laa malja-a walaa manja-a minka illaa ilaika. Aamantu bikitaabikalladzii anzalta wanabiyyikal ladzii arsalta (Wahai Allah, saya menyerahkan diriku kepada-Mu, menghadapkan mukaku kepada-Mu, menyerahkan semua urusanku kepada-Mu, dan menyandarkan punggungku kepada-Mu dengan penuh harapan dan takut kepada-Mu, tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari siksaan-Mu kecuali hanya kepada-Mu. Saya beriman dengan kitab yang Engkau turunkan dari nabi yang Engkau utus.” (HR. Bukhari)
  6. “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)
  7. Dari al-Barra` bin Azib, Rasulullah Muhammad saw pernah bersabda, “Apabila kamu hendak tidur,maka berwudhulah (dengan sempurna) seperti kamu berwudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan”.
  8. “Rasulullah Muhammad saw apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya.” (HR. Abu Dawud no. 5045, At Tirmidzi No. 3395, Ibnu Majah No. 3877 dan Ibnu Hibban No. 2350)
  9. Aisyah ra. berkata: “Bila Rasulullah Muhammad saw berbaring di tempat tidurnya, beliau kumpulkan kedua telapak tangannya, lalu meniup keduanya dan dibaca pada keduanya surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas. Kemudian disapunya seluruh badan yang dapat disapunya dengan kedua tangannya. Beliau mulai dari kepalanya, mukanya dan bagian depan dari badannya. Beliau lakukan hal ini sebanyak tiga kali.” (HR. At Tarmidzi)
  10. “Beliau saw tidur di awal malam dan menghidupkan akhir malam.” (Mutafaq ‘Alaih)
  11. “Bahwasanya Rasulullah Muhammad saw membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya.” (Hadist Riwayat Al-Bukhari No. 568 dan Muslim No. 647 (235))
  12. “Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai Allah Azza Wa Jalla.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih)
  13. “Maka bangunlah Rasulullah Muhammad saw dari tidurnya kemudian duduk sambil mengusap wajah dengan tangannya.” (HR. Muslim No. 763 (182)
  14. “Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka beristintsaarlah tiga kali karena sesunggguhnya syaitan bermalam di rongga hidungnya.” (HR. Bukhari No. 3295 dan Muslim No. 238)
  15. “Apabila Rasulullah Muhammad saw bangun malam membersihkan mulutnya dengan bersiwak.” (HR. Al Bukhari No. 245 dan Muslim No. 255)


Saturday, November 10, 2012

Cara Mengetahui Apakah Komputer Kamu Cowok Atau Cewek

Gan, ternyata seluruh komputer yang diciptakan memiliki jenis kel4min, bagaimana cara mengetahuinya? coba ikuti instruksi dibawah ini

1. Dengan tampilan dekstop, coba kamu buka notepad
2. isi dengan kode ini CreateObject("SAPI.SpVoice").Speak"I Love You"
3. Save file tersebut dengan nama xyz.vbs
4. Klik dua kali file yang tadi kamu buat (pastikan volume speaker kamu keras)
5. Jika file tersebut jalan, maka terdengar seseorang menyapa
6. Jika yang menyapa suara wanita maka komputer kamu berjenis kel4min perempuan dan begitu sebaliknya.

Nah sekarang komputer atau laptop agan cewek atau cowok, kalau punya ane sih cewek.. he he... jadi betah lama2 didepan komputer..

From Kaskus

Wednesday, October 24, 2012

A Moment to Remember

Sayangku, ...


Jangan salahkan aku


Aku hanya mencintaimu, hanya kamu

Aku hanya memikirkanmu.
Hanya kau yg ku kenang.


Betapa besar aku berharap
untuk menunjukkan hatiku padamu!


Apakah ada yg bisa kulakukan
disaat kenanganku masih tersisa?


Aku, ....
hanya cinta padamu ....

Aku tak mau melupakan itu.
Aku harus mengingatnya.


Bisakah kau melihatnya?


Bisakah kau merasakan hatiku?


Aku takut kenangan yg baru datang ini
akan meninggalkan aku kembali...


... Sebelum ku katakan semuanya
Aku harus ucapkan.


Aku mencintaimu.
dan maafkan aku.


Aku bertemu denganmu
karena aku pelupa.


Aku meninggalkanmu
karena aku pelupa.


Kau adalah hal terbaik
yg pernah terjadi pada diriku.


Betapa bersyukurnya aku pada Tuhan
karena telah mengirim dirimu sebagai anugerah.

Aku tak harus mengingatmu.


Kau bagian dari diriku


Aku tersenyum, tertawa, dan
bau seperti dirimu


Aku mungkin lupa pada dirimu,


tapi tak ada satupun yg bisa
menyingkirkan dirimu dari tubuhku.


Meski kau tak pernah mengucapkan
Aku mencintaimu...


Aku tahu dalam relung hatimu
terdalam kau cinta padaku.


Kumohon maafkan aku.
karena meninggalkanmu...


Untuk terakhir kalinya
Aku punya permintaan....

Tuesday, October 9, 2012

Salah Paham

Maaf Sebelumnya

Ntah mau mulai dari mana !!!!

Jujur niat gw baik bukan ada masuk  terselubung,,,,,
nga tau si dia angapnya apa? yang jelas gw hanya mau membantu...
dan itu yang gw pelajarin dari pak ustad...YM

Gw jg nga bisa bohong kalaw dia emang cakep!!!! hehe yg pasti banyak cowo yg suka sama si dia...
tapi semua yang gw lakuin ikhlas...
dan gw sbg seorang muslim wajar saling mengiatkan dlm kebaikan....
kalaw dia baik gw jg dapat berkahnya hehe...
maaf yah kalaw sms aku membuat kamu jadi terganggu

klw si "dia" baca ini moga-moga dia nga marah :-)
"Jadilah Wanita Yang Soleha & Terus Berada di Jalan Allah"

Semoga ALLAH selalu MENJAGAmu dan memberikan SEMUA yang TERBAIK bagi mu

Amin Amin Amin Yarobbal allamin

Wassalam.

AKU TERPAKSA MENIKAHIMU...... (inspiratif)

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.



Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.



Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.



Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.



Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.



Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.



Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, aku juga membenci kedua orangtuaku.



Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.



Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.



“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.



Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”



“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.



Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.



Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.



Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.



Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.



Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.



Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.


Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.


Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.



Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.



Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu., dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!


Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

 Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.



Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”





Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Saturday, October 6, 2012

I always take care of you



Semoga ALLAH selalu MENJAGAmu dan memberikan SEMUA yang TERBAIK bagi mu


dan aku janji akan selalu menjagamu
walau apapun yang terjadi padamu

Friday, October 5, 2012

Dibuat Lalai


 

Ketika ku sibuk dengan urusan dunia ini dan hanya memikirkan keinginanku semata, dan Kau hanya diam memamdangiku dan terus-terus sampai aku terlupa.
 

 Dan Hingga kau Meneggurku , aku tidak Mau mendengarkannya. dan terus-menerus ku membuat kesalahan kepada mu.


 










 
Akhirnya kau menyetil telinga Ku, Barulah ku tersadar , betapa ku telah melupakan mu.


Dan hanya merenung kesalahan - kesalahan yang ku buat kepadamu, dan ingin rasanya aku kembali kemasa lalu untuk memperbaiki diri ini tetepi itu tidak lah munkin.
yang aku bisa hanya
TOBAT DAN AMPUNANMU YA
ALLAH.......ALLAH.......ALLAH



















                    





Sunday, September 30, 2012

abu rokok

 













saya : bu kok pohonya layu sich! kebanyakan disiram ya
ibu   : ah kumu tuh
saya : kok aku sich
ibu   : ya ialah coba kamu liat "bukanya pupuk yang dikasih, abu rokok yang ada"
saya : gw cuma bengon & kena deh di omelin...

Kesimpulan :

Abu rokok aza bikin mati pohon apalagi rokoknya yang gw isep....?
tobat ngerokok 
ya allah semoga saya bisa lepas dari rokok ini


Tuesday, September 18, 2012

 
TAK BER-AYAH
Cerpen Qaem 
 

Riuh gemuruh suara teriakan dan tawa anak kelas 4 sd berlarian menembus celah-celah jendela ruangan, riuh itu baru berhenti perlahan tatkala bu guru menghentakkan mistar panjangnya ke papan tulis yang penuh dengan coretan dan gambar naruto. Pagi itu, ruangan kelas 4 seperti audisi solo pelawak, tiap anak akan menceritakan pahlawan hidupnya,.. tiap anak yang bercerita, maka gemuruh akan tercipta, dan mistar kembali menghantam papan tulis untuk merendam riuh agar tak mengaung lagi.
"selanjutnya.. Husain…"
"Hadir bu.."
"Maju…!!"

Suara mulai menelisik dari kolom meja-meja.. kali ini objeknya makin menarik, badan tirus cekung, baju selalu kedodoran, tanpa lupa ujung lengan baju selalu mengkilat dengan sisa ingus yang mengering..

Husain gentar, tak biasanya, dia yang biasa menjadikan dirinya sebagai bahan tertawa'an, kali ini berdiam lama memandangi sepatunya, bergerak pelan dan menatap diam-diam temannya yang sudah tidak sabar melihat aksinya, melihat kembali pada ibu guru dengan tatapan memohon, untuk sekarang ini tak perlu lah dia naik, ibu guru tak merespon, tatapan teman-teman menekannya untuk segera beraksi, dia melangkah dengan penuh beban, kulitnya mengerucut, tapi tak berkeringat.
"Silahkan Husain, perkenalkan pahlawanmu ke teman-teman…"
"Paling cibi maruko chan bu.."

Wuakakakakaka…..
"upin-ipin..! kan tivi dirumahnya Cuma bisa dapat siaran mnc…!!!
Wuakakakakakaka….!!!!!!

Gemuruh kembali menggelepar, disertai hentakan meja yang bersahut-sahutan, bahkan ibu guru harus menyentak mistarnya lebih dari sekali untuk menenangkan, Husain terpaku, jari-jari tangannya kaku menarik ujung baju, entah kenapa kantong ketawanya mengempis, hingga  bibirnya malah mengatup keras layaknya jahitan, saat diam dan tenang barulah ia bersuara dengan nada yang begitu pelan.
"P..p…pahlawan ku… ii..i.bu…
i..ibu ku…
ibuku…."

seketika hening menerpa.. tangan-tangan yang sedari tadi tak lelah-lelah menghantam meja tergelatak mati diatasnya, suara terkunci, semua mata termasuk ibu guru sepenuhnya menatapa tajam dan heran pada husen yang baru berucap ibu, telah meneteskan air mata, husen segera tertunduk,  mencoba menenangkan hatinya yang telah berkecamuk, dan kini di kelas, cerita itu mengalir pelan namun riaknya deras, membuat kontes lawak bubar, berganti putaran nostalgia, mempertontokan salah satu sudut kepahlawanan yang memilukan, serasa husen ingin berkata, "siapa bilang pahlawan itu selalu super?"
***

Satu malam pada beberapa tahun yang lalu, sekelompok pria berpakaian gamis mendatangi rumah yang terletak di tengah-tengah sawah, kedatangannya mendadak, hingga si tuan rumah tak bisa menduga, gerangan apa yang menyebabkan mereka datang di waktu enak-enak bercengkrama dengan keluarga.. tujuan itu tersimpan rapi di wajah-wajah mereka yang senantiasa tersenyum, di ruangan tamu yang remang itu, mereka mencoba berbasa-basi terlebih dahulu, melelehkan suasana, tapi tetap rasa penasaran menusuk-nusuk  sikap yang sedari tadi seolah acuh, dan cicak-cicak pun tau, ini awal kehidupan.. mereka kembali kesarangnya untuk mengurus telur-telur yang hampir menetas
"langsung pada intinya, disini bu.. kami mewakili sodara ahmad, ingin mempersunting lina keponakan ibu.. sebagai perwujudan jihad seorang muslim menyempurnakan imannya dan membentuk keluarga muslim yang mawaddah"

Mendengar pengakuan itu, rasa penasaran lenyap berganti khawatir yang menjerat, bukannya apa, bukannya tak suka, tapi ini betul-betul mendadak.. harusnya tidak langsung seperti ini, karena dia sendiri menyadari tidak punya hak atas keponakannya dalam hal ini, tapi ia tak enak dan takut disalah artikan jika mengatakan penolakan sehalus apapun
"mari kita bicarakan lebih lanjut dalam perpustakaan rumah, anak-anak sedang nonton, saya akan panggilkan suami saya dan lina"
"tolong di ambilkan hijab bu"
"tidak masalah"

Ruangan yang di kelilingi lemari buku itu kini terbagi dua, dibatasi oleh gorden biru yang memanjang, sisi satu di isi mereka, laki-laki bergamis yang kali ini tak tersenyum sedikit pun, sedang di sisi satunya dua pasangan paruh baya dan seorang wanita berjilbab panjang sedang duduk, kepalanya tertunduk, menenangkan hati yang bergejolak
"kau kenal ahmad ini nak.."

Ibu itu memulai percakapan
Lina mengangguk..
"Seberapa kenal kau dengan dia.. keluarganya.. riwayat pendidikan dan kehidupannya"

Lina terdiam.. lama.. seorang pemuda di balik sana mengerutkan dahi, ia sedikit tersinggung, serasa ibu itu ingin menelanjanginya, semua tak sesuai harapan, kiranya akan berjalan mulus dan mudah.. tapi tidak demikian, kali ini suasana berubah mencekam
"dalam islam, dua orang pasangan yang ingin menikah harus mengutarakan perihal hidupnya secara jujur.. agar di kemudian hari tidak ada penyesalan dan rasa tertipu.. "
"Sebagai perempuan.. biar lina yang duluan.."

Pemuda itu memotong..
 ibu itu tertohok dan segera ingin menyanggah.. kenapa tidak dia yang duluan, merasa lebih tinggikah.. harusnya sebelum berani melamar, dia cari tau sendiri wanita yang ingin dijadikan pasangan, agar bisa sesuai keinginannya dan mantap dalam hatinya.. tapi bapak yang duduk di sampingnya memegang tangannya.. ia menenangkan istrinya yang gelisah karena keponakan, yang kali ini dalam pilihan membentuk kehidupan baru, tidak main-main, suaminya tau rasa gelisah yang lahir dari sikap tanggung jawab istrinya, dan untuk kali ini, dia ingin mendamaikan istrinya dengan genggaman positif dan senyum, seraya ingin berkata
"tenang… semua akan baik-baik saja, kita hadapi bersama"
"Nak lina, silahkan.." 

Lina bicara terbata-bata, memilih kata-kata dengan tepat, secara polos dan tentunya jujur,, dia tidak melebih-lebihkan tidak pula mengurang-ngurangi.. dari bibirnya keluarlah pengakuan, terlahir sebagai anak kedua dari keluarga sederhana di sudut kampung palopo yang agak terpencil, diantara sodaranya, pendidikannya yang kali ini paling tinggi, kakak pertamanya meneruskan empang keluarga, adeknya juga belajar di Makassar, tak ia tutup-tutupi, keluarganya miskin, empang tak bisa menghidupi kehidupan anak-anak yang di tinggalkan orang tua, untuk itu dia usaha menjahit kecil-kecilan untuk memenuhi biaya sekolahnya dan adiknya.. dia mengenal ahmad dengan sangat minim informasi, hanya lewat perkataan temannya, di tempat kuliahnnya, al-irsyad sana.. itu pun karena temannya adalah adik ahmad, dan dari situlah lina di beritau bahwa kakaknya akan meminangnya, tapi tak jelas kapan… hanya itu.. tak lebih..

Lina mengeluh pelan, matanya terpejam, dalam hati terbersit lafadzh "Alhamdulillah" berterima kasih kepada Allah atas karunia kekuatan hingga bisa mengungkapkan semua dengan apa adanya dan berharap penuh kepada Allah
"jika ia baik.. dekatkan ya Allah, namun jika buruk.. jauhkan secara baik.."

Kali ini, giliran ahmad yang berbicara, mulanya bicaranya lantang, penuh percaya diri, namun tidak terkesan sombong. dia biasa di sebut ustad, menjadi salah satu aktifis dalam lembaga al-irsyad dimana lina belajar sekarang, keluarganya cukup terpandang, beberapa keluarganya tinggal di Jakarta, di Makassar, orang tuanya meninggalkan sebuah rumah buat dia dan sodara-sodaranya..

Mendung menggelayut pada hamparan langit, saat bias sabit tak mampu menembus celahnya, jangkrik-jangkrik kesal bersahut-sahutan, karena khawatir ular mengendap memakan dirinya yang kini bersembunyi di balik builr padi menunduk dan hampir menguning. Entah kenapa. Ahmad berhenti sejenak.. meski tak terlihat, setiap selipan buku tau, dia kini terpejam, nafas panjang dia tahan, sepertinya dia menahan sesuatu yang tak ingin dia utarakan.
"saya duda.. dan sudah punya satu anak perempuan, dua bulan kemarin kami cerai, tapi belum sah di pengadilan"

Suara itu merambat pelan menulusuri aliran darah ibu paruh baya hingga menciptakan gelombang kedalam jantunnya, detakannya makin terasa kencang, matanya sedikit membelalak menunjukkan ekspresi kekagetan, lina..?? dia masih saja tertunduk… tapi, untuk beberapa saat, matanya tak berkontraksi, ia mencerna dengan baik, mengulangi ketetapan hatinya.
"jika ia baik.. dekatkan ya Allah, namun jika buruk.. jauhkan secara baik.."

Kali ini ibu itu kian tak sabar, ia tak mau mengambil resiko yang lebih dari ini, lina datang ke tempatnya untuk belajar, sebagai tante, dia bertanggung jawab penuh atas kehidupan lina, bertanggung jawab, bukan berarti memiliki hak atasnya, apalagi untuk urusan pernikahan, pintu baru kehidupan. ini harus di rundingkan dengan keluarga yang lebih berhak menjadi wali lina
"sodara ahmad yang baik, sebaiknya persuntingan ini kita tunda dulu, karena masih banyak yang harus di perjelas, saya minta maaf, bukannya kami menolak, tapi biarkan lina memikirkannya dan memberitahu keluarganya di kampung.. apalagi status nak ahmad ini….

Tiba-tiba genggaman suaminya mengeras, ia menoleh pada suaminya yang kali ini terlihat serius, dan menggeleng pelan.. suasana berhenti, bahkan angin tak berhembus, rintik hujan menelusuk di balik jendela yang beruap.. hawa dingin menerobos, tapi dalam perpustakaan itu, semakin panas saja, aura penekanan dan kegelisahan menyeruak membelah terpaan angin malam yang di hempaskan anak rinai hujan..
"kalo gitu kami pamit pulang, assalamu a'laikum"

Ahmad berdiri pertama, tanpa menoleh, langsung membuka pintu dan tak ada semenit telah berdiri mematung di luar pagar rumah.. teman-temannya merasa tak enak, apalagi, suami dari ibu ini merupakan salah satu pengajar di al-irsyad
"haduh.. kami minta maaf atas sikap ahmad ustad"
"Tidak pa-pa… sampaikan minta maaf kami kepada Ahmad, jika jodoh, tidak akan kemana"

Suami itu melepas senyumnya di balik remang ketegangan, tetamunya telah tertelan gelap, ia mengunci pagar dan menutup pintu.. kemudian berdiri diambang pintu perpustakaan, menatap istrinya yang masih saja dalam kegelisahannya, dan pada lina, yang masih saja tertunduk sedari tadi. kemudian bapak itu, berlalu dengan meninggalkan senyum pada istrinya. masih saja menyiratkan ketegaran  "semua akan baik-baik saja"
"kapan kau akan ke kampung nak"
"kalo bisa besok tante.."

Ibu itu ingin berkata panjang lebar, tapi dia sadar, saat ini keponakannya masih terombang-ambing dalam dilema perasaan, apalagi merasakan sikap ahmad yang kurang bersahabat..
"terserah kau.. kamu bukan anak kecil lagi.. sudah tau yang mana baik dan buruk.. Cuma sebagai tante layak untuk memberi mu nasehat, dan perlindungan.. tante mana yang mau melihat keponakannya tidak baik.. maaf jika perlakuan tante tadi kurang menyenangkan hatimu.."

Kali ini lina mendongkak kan kepalanya, menatap tante yang sudah dianggapnya ibu sendiri.. lalu tersenyum penuh ketenangan..
"tidak tante,, saya harusnya berterima kasih.. tante sudah bersikap tegas, yang itu belum tentu bisa saya lakukan"

Mendengar itu, ibu paruh baya membalas senyumnya, lalu membelai pelan keponakannya, dan berlalu menemui anak-anaknya yang tertidur di depan tivi. Lina masih terduduk lemas, pandangannya tiba-tiba kosong.. raut wajahnya renyuh menatap pembatas horden, seakan membayangkan sosok ahmad yang terlihat cemas di balik sana.. sekejap air matanya keluar, entah karena apa..
***

Kelas itu hening seketika.. mata anak-anak kelas 4 tak bergeming menatap temannya Husain yang bercerita begitu serius dan penuh penghayatan.. kali ini tak ada ketawa, tak ada meja yang dihantam keras, tak ada mistar panjang yang memukul papan tulis untuk menenangkan, hanya ada diam dan hening..
"lina itu ibuku.."
***

Dentuman guntur memecah hening yang tercipta oleh gelapnya mendung,  hujan telah turun, lina pun telah memanaskan air, sambil membuat sepanci bubur kacang hijau, buat suaminya yang akan pulang sore ini, dan juga buat sodara-sodara ahmad yang akhir-akhir ini mulai berani menyuruh-nyuruh lina dengan bentakan, seakan dia hadir sebagai pembantu di rumah tersebut, tapi lina tak mempermasalahkannya.
"abi.. hangatkan dulu badanmu, sudah ku siapkan air hangat, sementara kau mandi, ku ambilkan semangkok bubur kacang hijau yang telah ku campuri jahe.."

Lina tersenyum melihat suaminya yang bergerak malas ke kamar, sepatu suaminya ia letakkan di samping pintu masuk, payung yang masih tergerai di lipat dan di kibas-kibaskan, lalu dia menutup pintu dengan pelan, bersama dengan tetes-tetes air hujan yang bergelayut di ujung payung, lalu turun perlahan meniti lantai-lantai rumah saat lina menuju dapur, menyiapkan semangkok bubur kacang hijau, lalu menuju kamar, dengan sabar duduk di tepi ranjang yang tak terlalu besar, tangannya tak lepas dari penutup mangkok, dan matanya tak bergeming dari pintu kamar mandi, menunggu suaminya selesai menyegarkan diri dengan hangat air yang dia panaskan tadi.
"pelan-pelan abi.. buburnya masih sangat panas.. bisa-bisa lidahmu terbakar, sini biar ku suapi"
"tidak perlu"

Lina masih memandang suaminya yang meringis kepanasan, dia bergeser sedikit mendekati suaminya, dan perlahan mengipas-ngipas bubur dengan penutup mangkoknya, khawatirnya tak lepas dari ahmad.. jika bisa, dia pun akan meminta untuk membagi rasa panas yang di rasakan ahmad, meski karena itu, lidahnya pun akan terasa kelu.
"aku ingin berhenti jadi diler motor"

Ahmad memberikan bubur kacang hijau yang belum habis itu pada lina, mendegar itu, lina tersentak, namun disembunyikan kekagetannya, perlahan dia meletakkan mangkok tersebut diatas meja belajar keponakannya.
"ada masalah yah?"
"tidak"
"lalu?"
"aku Cuma ingin mencari pekerjaan yang lebih berarti.. jadi diler motor sama seperti jadi satpam bagiku.."
"tentu beda.. dari pendapatan pun sangat jauh…. Lagi pula sekarang sulit mencari pekerjaan yang memadai buat penghidupan.. kalo abi berhenti, cari pekerjaan susah lagi, mana motor belum lunas kreditannya"
"yang begituan tidak perlu kau pikirkan.. itu jadi tanggung jawabku.. aku juga berencana mencari kontrakan yang memadai, meski kau tak pernah bilang, aku tau, sodara-sodaraku sudah berlaku kurang baik kepadamu"

Lina tersnyum.. sedikit perhatian suaminya, bagi istri seperti lina, bagaikan sebuncah kebahagian yang tak tergantikan oleh momen apapun
"tidak apa-apa, tak bisakah kau tunda dulu?, ada hal yang lebih penting dari itu yang harus kita pikirkan.. persiapan buah hati kita.. tentunya butuh biaya yang tak sedikit.."

Ahmad tak menggubris, ia langsung saja merebahkan badannya diatas kasur.. sekejap matanya terpejam..
"yah.. terserah abilah.. aku ikut suamiku"

Lina pun ikut merebah di sampingnya. memandang punggung suami yang membelakanginya, rambut suaminya ia belai begitu pelan. satu setengan tahun semenjak keluarganya di kampung mempercayakan dirinya di atas pundak ahmad, satu setengah tahun saat lina mendapatkan status cerai sah dari ahmad dengan istri pertamanya, dan memantapkan dirinya untuk siap menjadi pendamping yang setia, menjadi partner hidup hingga ajal menjemput, satu setengah tahun saat dia mulai menapaki kehidupan baru bersama ahmad, lelaki yang berbagi kehidupan dengannya.  kini, meski hidup serba tak kecukupan, dia tak bermuram durja, gaji yang di dapat ahmad tergolong di bawah standar, meski begitu lina tak pernah mengeluh, toh lina juga ikut membantu suaminya dengan melanjutkan usaha jahitannya, asal ada ahmad di sampingnya, semua bisa dilewati, asal ada ahmad yang menggandengnya lelah tak terlalu membebani.. jika mengurus diri sendiri sudah sangat susah, bukan berarti hidup berdua akan lebih susah.. karena ternyata rasa tanggung jawab dan pedulia memberi kekuatan tersendiri, tidak tau dari mana, tapi itulah cinta menurut lina. dan buat anak yang akan lahir, lina bertekad akan menjadi lebih kuat berlipat-lipat, asal dengan ahmad..
***

Husain berhenti sejenak, mengatur dadanya yang bergemuruh dengan tarikan nafas panjang, lalu memandang ke sekeliling kelas, melihat teman-temannya yang sedari tadi telah memusatkan seluruh panca indra mereka pada cerita Husain, entah kenapa ,perhatian itu memberi kekuatan lebih padanya, memberikan dia sebuah keyakinan, bahwa, meski pahlawannya kali ini berbeda dengan yang lain, pahlawannya tidak bisa berubah, tidak punya sinar super dari kedua matanya, tidak memakai stelan yang keren.. tapi tetap.. pahlawannya jauh lebih hebat.. jauh lebih super.. dan lebih nyata dan patut untuk dikenang.
"di ibu kota, aku pun lahir"
***

Lina tergopoh-gopoh ke meja makan, kandungannya sudah mencapai Sembilan bulan, beratnya minta ampun.. serasa dua kelapa besar diikatkan ke perutmu dan mutlak dibawa kemana saja, hingga saat kau mencoba untuk memengeluarkan air seni sekalipun. perhatikan..!! dalam sudut ini, perempuan beribu-ribu kali lipat kuat dan sabarnya dibanding laki-laki, dalam keadaan ini perempuan beribu-ribu kali lipat mulianya dibanding laki-laki, mereka dekat dengan surga, mereka dengan dengan berkah..  dan itu disadari lina.. hingga bukan keluhan yang lahir dari raut wajahnya, tapi kesenangan yang tiada tara, garis-garis kesabaran yang tergores indah di permukaan dahi dan kantong mata yang semakin membuatnya manis.. serta segunung harapan pada jantung hatinya yang akan segera lahir, menemani hari-hari dan mengisi daftar perjuangan berikutnya, tanpa lupa selingan dari senyuman manja si buah hati saat di sentuh perutnya dengan bibir ibu yang membuatnya geli.
"huh.. sia..sia.. mad..mad… datang ke Jakarta.. dah lebih 6 bulan, kerjanya Cuma mondar mandir gak jelas.. habis itu ngabisin beras.. mending pulang dah ke Makassar.."

Kali ini paman ahmad berbicara lebih pedas dari malam-malam biasanya, makan malam itu menjadi momok paling menjijikkan buat ahmad dan lina. sadar bahwa dia menumpang, ahmad hanya bisa terdiam dan menelan makanan yang terasa begitu pahit.
"si jery itu dah mau masuk tk lho.. mana anaknya manja banget, kalo beli apa-apa selalu pilih yang mahal-mahal, mana kakaknya juga selalu iri kalo adeknya beli barang baru, pasti juga kepengen..huh.. jadi om harus hemat-hemat uang.. tapi.. yah gimana mau hemat uang.. kamunya datang…"
"kamu tau kan.. paman mu ini Cuma pensiunan pertamina.. buat beri makan keluarga aja susah.. apalagi harus nanggung dua orang lagi yang gak jelas kehidupannya"

Pyar…!! termometer kesabaran ahmad pecah..! air raksanya meloncat keluar dan menetesi hatinya yang kini meleleh di amuk amarah.. sepontan ia berdiri lalu menarik lina.. berusaha mengimbangi jalan ahmad, lina memegang perutnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya dicengkram keras oleh ahmad, sakit, tapi lina tahu suaminya lagi meradang tegang, mukakanya memerah. Hingga cara ahmad mengeluarkan seluruh pakaian mereka dari lemari seperti perampok mencari setitik berlian dalam tempo tidak kurang dari 10 detik.. lina hanya bisa terdiam, bukannya takut, dia hanya iba melihat suaminya, tapi menangis pun bukan hal yang baik, karena hanya akan menjadi beban buat hati ahmad yang telah terjepit oleh perkataan pedas pamannya. yah.. untuk kali ini diam betul-betul menjadi emas, meski hatinya ikut merintih, tapi lina menyembunyikannya dalam sikap diam, sambil membantu ahmad melipat pakaian dan merapikan segala barang-barang mereka dengan cepat. tak sampai  10 menit, seluruh barang telah siap diangkut. kali ini bertambah beban lina melangkah keluar, tapi ahmad sudah dikuasai amarah, lina tak ia gubris, langkahnya sangat-sangat cepat, tak menoleh atau berhenti sejenak untuk melihat lina yang tertatih-tatih mengikuti langkannya keluar, lina tetap diam dan sabar.
"mau kemana… habisin dulu makanannya"

Ahmad tidak bergeming, matanya malah memerah seperti hendak keluar, urat-uratnya bermunculan, perkataan pamannya tadi bukannya terdengar sebagai ajakan berdamai atau terbersit "jangan diambil hati.. aku tadi Cuma bercanda" atau "ya. . tersinggung sih boleh, tapi gak sampai keluar rumah lah.." malah terdengar seperti klimaks cemo'oh, penyempurna sabetan-sabetan lidah pamannya malam itu.. apalagi ahmad yang dalam kondisi seperti itu, segalanya terdengar salah, segalanya seperti menghakimi, semuanya terdengar menjijikkan. bahkan mendengar kalimat terakhir sudah cukup menjadi alasan buat ahmad untuk mematahkan leher pamannya atau menusuk matanya dengan garpu. bukannya apa, kalimat itu terdengar setajam silet. mengupas hingga tidak mengizinkan darah menetes. bagi ahmad terdengarnya seperti "kalo gak malu ya.. dihabisin dulu makananannya"..

huahh….!!!! Ahmad mempercepat langkahnya, sambil berteriak memanggil lina.. yang saat itu malah semakin melambat, ahmad meradang, ia berbalik kebelakang, ingin memuntahkan kemarahannya pada lina. tapi belum sempat tamparan ahmad bersarang, lina telah tersungkur dan menjerit..
"anakku-anakku"
***

"di saat itu aku lahir.. tapi yang mengantarkan adalah pamanku.. sementara ayahku entah lari kemana.. hingga 10 hari di rumah sakit, barulah ayah datang, dan meminta maaf pada ibu..  ibu tidak bilang apa-apa.. malah menanyakan kabar ayah gimana, tinggalnya dimana, makan apa dan lain sebagainya.. ayah terlihat seperti malaikat, tak pernah salah dan ibu juga terlihat seperti malaikat, tak pernah protes, tak punya marah, kerjanya hanya patuh..patuh..patuh.. terkadang cinta membuat orang menjadi malaikat dan diri sendiri juga menjadi malaikat..
"Tidak cukup seminggu di rumah sakit, ayah mengajak ibu pulang ke Makassar, hemm.. sebenarnya bukan mengajak, Cuma sekedar pemberitahuan, karena mau tidak mau, pasti ibu harus ikut, tapi setidaknya ayah menepati satu janjinya, mencarikan rumah kontarakan sederhana buat ibu dan aku yang baru lahir. Namun, lagi-lagi tidak sebanding, satu janji yang di tepati di bayar beribu perhatian yang hilang, ayah sering tidak pulang,, bahkan sampai berhari-hari. hingga di mataku selalu terisi wajah ibu, ayah jarang sekali, yang ku kenal hanya panggilan dan candaan khas ala ibu, ayah hanya sesekali mencium ku ketika datang lalu lenyap lagi entah kemana. mungkin karena itu ibu mulai sakit-sakitan, badannya kurus, tulangnya hampir sama besar dengan tulangku, kerjanya melamun di balik pintu, Cuma sekali pancaran kebahagian yang terlihat dimata ibu, yah.. ketika ayah muncul di balik pagar, ibu akan tersenyum lalu masuk kamar dan menyisir rambutnya serta memakai wewangian.."
"2 tahun berlalu, barulah ayah memberi tahu pekerjaan barunya.."
"aku sekarang main sulap..!!"
***

Rumah ini hanya seluas kamar di rumah standar.. di sampinya berjejal panjang dengan kamar yang setipe. tidak ada bunga, tidak ada pekarangan, pembuangan sampahnya pun sangat dekat, hingga bau khas pecahan telur, sisa bungkusan mie dan nasi yang tak habis dimakan bergabung menjadi aroma tak sedap yang akan menusuk hidung 24 jam. buat orang baru, sungguh akan menjadi masalah bahkan membuat mual, tapi buat yang telah terbiasa, baunya seperti udara hambar yang senantiasa di hisap untuk menyambung kehidupan, dianggap tak ada dan itu kini dinikmati lina dan anaknya.
"kau terlihat sangat kurus.."

Ibu paruh bayah itu duduk, lalu menaruh buah-buahan yang baru dbelinya, sambil memandangi keponakannya yang semakin memprihatinkan.
Lina hanya membalas dengan senyum sambil meraih tangan kanan tantenya, lalu menjabatnya dan menciumnya sebagai bentuk takzim ataupun menandakan dia merindukannya..
"ruangan ini sangat sumpek, harusnya kau beli satu kipas angin, kasihan anakmu..  bisa-bisa kulitnya penuh dengan bintik-bintik keringat"
" gimana lagi tante,  dasar kamarnya sempit, sumpek, fentilasi kurang, jendela Cuma satu.. yah..gak pa-pa dari pada tidur dikolong jembatan hehe.."

Ibu paruh baya itu renyuh menatap keponakan kesayangannya, mencoba memahami dan mencari sedikit kekecewaan akibat keras kehidupan dari matanya, tapi yang ia dapat hanya ketegaran dan kesabaran.. apakah semua wanita seperti ini?
"suamimu diamana?"
"kerja"
"Kerja apa?"
"Katanya pesulap"
"sudah berapa lama tidak pulang"
"hampir 6 bulan"

Sepintas lina memandang keluar, menerobos celah waktu yang telah lama berlalu, dan mendapati dirinya duduk diambang pintu tanpa ahmad disisinya, berharap ahmad tiba-tiba muncul saat itu, lalu setidaknya ia bisa merebahkan kepala barang sebentar di dadanya, menyandarkan kelelahan yang mau tidak mau telah memenuhi hatinya. Tapi, waktu seakan berkata padanya "jangan harap!".. baru kali ini ia merasa sakit.. sakit sekali,, tepat disana, di segumpal daging yang berwarna merah darah.. kini air matanya merembes keluar dengan pelan, makin lama makin deras, lelah yang harusnya disandarkan pada ahmad, terpaksa jatuh di pangkuan tante lina, ia merebah sambil menahan isak"
"aku rindu suamiku tante.. sangat rindu.. aku tidak perlu dia pulang dengan banyak uang, atau dengan mengendarai mobil, aku hanya ingin dirinya.. perhatiannya.. belaian lembut tangannya.. itu sudah cukup, bahkan jika aku yang harus kerja.. tak apa, asal dia tak lagi pergi.."

Kepala lina di belai pelan, ibu itu menyembunyikan air matanya, gemuruh dada ia tahan sedemikian rupa, tak ingin ikut-ikutan menangis, meski di hatinya, ia juga merasa dikhianati
"tidak perlu terlalu di pikirkan, nanti dirimu malah stress.. kasihan anakmu, dia butuh lebih banyak perhatian.. kalo ibunya sakit, gimana anaknya bisa dirawat.. kau masih punya simpanan kan..? uangnya ahmad gimana? "
"simpanan ku masih ada, dari ahmad hanya terang bulan yang telah basi dan ayam panggang yang dimakan kucing, setiap dia pulang, yang dibawanya hanya bertumpuk-tumpuk makanan, padahal aku tidak perlu itu, yang ku perlukan hanya uang yang bisa ku tabung untuk  keluargaku.."
"coba kau komunikasikan dengan lebih baik.. insya Allah bisa.. kontrakanmu tinggal berapa hari nak?
"tinggal dua hari.."
"habis itu mau kemana? Ahmad tidak pernah bilang soal kontrakan"

Lina hanya menggeleng, lalu mengusap air matanya dan mengangkat kepalanya dari pangkuan, sambil terus terisak pelan
"pokoknya kalo kontrakanmu habis kau pulang ke kampung, disana banyak sodaramu yang bisa membantu, kau lanjutkan kuliahmu dari jauh, jangan terlalu berharap pada ahmad, ingat..!, anakmu butuh perhatian lebih banyak., setelah itu cobalah mendaftar jadi guru.."

lina hanya terpaku.. menimbang-nimbang usulan tantenya.. dari hati kecilnya, ia berharap, ahmad segera pulang..
***

Bel tanda istirahat nyaring terdengar di setiap lorong sekolah.. anak-anak muntah berkeliaran dari kelas-kelasnya. hanya ruangan kelas 4 yang masih tertutup seakan terisolasi. Husain berhenti bercerita, ia memandang teman-temannya yang masih memusatkan perhatian mereka pada tutur husain. Husain lalu menoleh ke pada ibu, ibu pun mengangguk pelan tanda memperbolehkan ia untuk melanjutkan cerita, sejenak Husain menunduk dan terpejam, setetes air mata keluar dari matanya
"di kampung, pahlawan ku meregang"
***

Malam itu masih terasa dingin, bahkan menusuk hingga celah-celah bulu halus di badan, serasa aliran darah hendak berhenti karena membeku, husain masih asik memainkan tangannya dengan sisa rintik hujan, telapaknya ia tengadahkan di bawah ujung genteng yang terus mengalirkan sisa air, tetes demi tetes.
Kakinya makin lama makin bergetar, badannya yang sangat kurus seperti kurang gizi, mulai berontak ingin masuk, akhirnya dia mengalah, berlari kedalam rumah mengambil handuk, membersihkan tangan dan kaki serta wajahnya yang terpercik tetesan hujan yang pecah menerjang permukaan tangan. ia lalu mengambil sarung dan membungkus dirinya, sambil berjalan kearah kamar ibunya, memandang ibu yang telah dua minggu terbaring lemah diatas kasur. bahkan, seakan tubuh ibu jadi semacam cetakan diatas kasur, rambutnya menguning karena keringat, pipinya masuk kedalam mencetak dua benjolan dia samping keduan matanya, husain lalu merebah di samping ibunya yang tersenyum melihat kedatangan anaknya.

Husan tak berkata-kata, ia hanya menatap pelan mata ibu yang terlihat memerah dengan urat-urat kecil tak beraturan. ia telah tau sejak lama, semenjak pulang kekampung, bercengkrama dengan keluarga, menyelesaikan studi, lalu mengajar di sd sebagai guru matematika, jahitannya pun masih saja dilanjutkan dan seabrek kegiatan lainnya, tetap ibunya masih seperti dulu, masih menyisakan ruang rindu yang hampir meledak karena suaminya tak kunjung ada, setiap ada waktu senggang, Husain selalu melihat ibunya  duduk di depan pintu melihat ke ruas jalanan yang besar, tapi pandangannya lebih jauh dari itu, sambil sesekali melihat ke layar hp, menunggu balasan dari suaminya yang tak kunjung datang.. persis saat dikontrakan. senyumnya hanya kamuflase, riang dan semangat kerjanya hanya tipuan, yang ada hanyalah hati yang meraung karena diamuk sunami rindu yang menerjang tak kunjung surut.. ibu.. pintar betul bersandiwara..
"kenapa liat terus..? ibu makin kurus yah..?"

Lina masih terus tersenyum pada husain, dan Husain hanya mengangguk.. memang dia terkenal sebagai anak pendiam namun jenaka luar biasa, kata keluarga, mirip ibunya waktu kecil.
"yah.. kan ikut husainnya.. masa' anaknya kurus ibunya gemuk.. xixixi.."

Husain tersenyum renyah.. ledekan ibunya seperti satu kecupan di pipinya.. ia lalu mendekap erat tubuh ibu, wajahnya dibenamkan dalam dada..
"nak.. kau rindu abi?"

Husain sedikit tersentak.. jika bukan karena pertanyaan itu, mungkin dia tidak pernah ingat kalo dia punya ayah..
"mang abi kemana?"
"Kerja buat kita.."
"Ko' tidak pernah pulang.."

Lina hanya terdiam.. Husain pun tak ingin membahas panjang lebar.. kembali ia benamkan wajahnya.. tapi lina meneruskan pembicaraan..
"kamu sayang abi..?
"ibu sayang abi..?"

Husain balik bertanya.. lina hanya tersenyum semanis yang pernah dilihat Husain..
"ayahmu orang yang baik sekali.. jika tersenyum ketawanya semanis dirimu, di pipi kirinya ada lesung pipi, jika marah dia hanya diam, tidak pernah bentak sama ibu.. kau tau,, dia cari kontrakan buat ibu karena sodara-saodaranya sering nyuruh-nyuruh ibumu.. ayah mu tidak terima.. padahal ibu tidak pernah lapor lho.. hihihi.."
"katanya kontrakan kita dulu sumpek ya.."

Lina hanya tersenyum lebar, mengingat dan memperkirakan Gerangan apa yang membuat mereka tahan tinggal di kontrakan bau itu.. mengenang itu, seakan makan permen asin, namun tetap ada manisnya.. dan suasana pun menjadi hening..
"aku sayang umayya (panggilan Husain pada ibunya..)"

Lina tersenyum.. dia membelai kepala Husain, ruas-ruas jarinya ia selipkan di antara rerimbun rambut anaknya yang lebat..
"jadi anak sholeh yah.. supaya ibu punya amal jariyah.. jadi, biar ibu nanti meninggal, tetap dapat pahala.. jangan pernah berkelahi, apalagi nyusahin tante dan pamanmu disini.. klo sudah besar, jangan mau kerja empang, tapi lanjutkan sekolah di kota sampai professor.. hehe.. cari istri yang solehah.. dan jangan sekali-kali ninggalin istrinya lama-lama.."
"aku mau cari istri seperti umayya"
"hahaha.. kamu ini.."

Dahi lina mengeluarkan keringat yang banyak.. cetakan tulang-tulangnya makin jelas di badannya yang tinggal terbungkus kulit..  tiba-tiba ia mengeluarkan air mata..
"kenapa menangis..?
"tidak..tidak.. umayya Cuma berharap.. abimu bisa lihat kamu yang dah besar, yang dah ganteng dan pintar… "
"Dah..dah.. tidur.. besok kamu sekolah.. ""Aku sayang kamu nak.."

Lina mengecup dahi Husain.. dari ujung bibir lina, terasa suhu yang sangat panas, menembus dahi Husain hingga kekhawatirannya
"umayya panas sekali"

Lina hanya diam dan terpejam.. Husain tak bisa memejamkan matanya.. lama..sangat lama.. dia hanya memendang ibunya beserta bulir-bulir keringat yang semakin deras membanjiri wajah dan badan ibunya. tiba-tiba dari hidung ibunya merembes aliran darah tak henti.. Husain panik, ia menggoyang-goyangkan badan ibunya.. ibunya tak bangun, masih saja terpejam.. Husain berteriak..!! seluruh penghuni rumah terbangun dan kaget, mereka berhamburan ke kamar lina lalu semakin terkejut melihat kilatan darah merah yang sudah mencapai permukaan kasur.. dari telinganya juga keluar darah rupanya.. lina digotong menuju kerumah sakit, Husain dilarang ikut,, ia hanya terpaku di depan pintu, mencerna kejadian yang sangat mendadak ini, mengingat percakapan terakhir dengan ibunya, tentang ayah, anak sholeh dan sedikit jenaka yang tersisa, tapi tidak bisa menguatkan jiwanya yang seketika ambruk melihat darah segar menghitam tak berhenti mengalir..
Sejurus kemudian.. tantenya berlari, menghambur padanya.. memeluknya erat sekali.. Husain merasakan hentakan badan yang naik turun tak terkontrol dari tubuh tantenya..
"ada apa tante…? ibu.. kenapa..?"

Tantenya bergetar, mulutnya terbata-bata, tak seperti air matanya yang merembes keluar layaknya hujan saat mendung menutupi bulan..
"sss…ssbar yah nn..nak.. uumm..aayyaa..mu …mm..menging..ggal.."

Husain terdiam,, tak berkedip.. sejenak badannya mati rasa.. bahkan ia tak menangis..  dengan sepontan ia berkata:
"aku ingin telpon abi…"

Sejurus kemudian.. tantenya telah memberikan hp lina pada Husain.. husain mencari no hp yang ia ingat berinisal "imamy".. akhirnya.. dia menunggu jawaban dari ujung sana
"halo.. assalamu a'laikum.. "
"abi.. umayya meninggal.. ummayya meninggal.."

Tiba-tiba Tangisan Husain pecah dengan sangat keras.. menghantam dinding kayu rumah itu.. orang-orang yang ada disekitarnya tak berani  berbuat apa-apa.. Husain telah tersungkur, terduduk di tempatnya berdiri..
"huhu.. abi.. pulang.. umayya meninggal.. umayya meninggal.. siapa yang temani Husain lagi.. huhu.. sapa yang ajari husen ngaji.. pulang abi.. siapa yang belikan buku buat Husain lagi.. abi pulangg.. umayya.. meninggal.. huhuhuhuuuu.."
"maaf… anda salah sambung.. " tiittt…tiitt…tiitt…
"abi..pulang..pulang.. huhuhuhu.. puuulllllaaaannggggg….."

Tiittt….tiittt…

Husain meronta keras.. tantenya mememeluknya dan menenangkan.. seluruh rumah kini terdiam tak sanggup lagi menangis, menyaksikan sebuah adegan hidup yang begitu memilukan,, dan Husain tak berhenti menangis.. bukan karena penolakan ayahnya.. tapi kepergian ibunya.. ia terus menangis.. hingga tertidur dalam jiwanya yang remuk redam..
***

Isakan pelan tertahan membahana dengan tenang di ruangan kelas 4, seluruh siswa merunduk menyembunyikan air mata mereka, menyesal baru menyadari, bahwa ibulah yang harusnya dianggap pahlawan.. meski tak super,, dialah super sebenarnya.. husain pun begitu, ia masih saja menangis, menahan suara yang harusnya meledak-ledak, tapi ia tak kuasa membendung air matanya yang berhamburan.. melihat itu.. ibu guru yang sedari tadi juga ikut menangis.. menerjang husain lalu memeluknya.. mengelus punggung Husain.. menenangkan.. Husain pun membalas pelukan lebih erat.. membenamkan suaranya dalam pelukan ibu guru, menyebunyikan air matanya yang tak berhenti mengalir, dalam hati ia merintih

"jangan lepaskan bu.. aku ingin dipeluk terus.. ingin di peluk
Jangan lepaskan"