TAK BER-AYAH
Cerpen Qaem
Riuh gemuruh suara teriakan dan
tawa anak kelas 4 sd berlarian menembus celah-celah jendela ruangan,
riuh itu baru berhenti perlahan tatkala bu guru menghentakkan mistar
panjangnya ke papan tulis yang penuh dengan coretan dan gambar naruto.
Pagi itu, ruangan kelas 4 seperti audisi solo pelawak, tiap anak akan
menceritakan pahlawan hidupnya,.. tiap anak yang bercerita, maka gemuruh
akan tercipta, dan mistar kembali menghantam papan tulis untuk merendam
riuh agar tak mengaung lagi.
"selanjutnya.. Husain…"
"Hadir bu.."
"Maju…!!"
Suara mulai menelisik dari kolom meja-meja.. kali ini objeknya makin
menarik, badan tirus cekung, baju selalu kedodoran, tanpa lupa ujung
lengan baju selalu mengkilat dengan sisa ingus yang mengering..
Husain gentar, tak biasanya, dia yang biasa menjadikan dirinya sebagai
bahan tertawa'an, kali ini berdiam lama memandangi sepatunya, bergerak
pelan dan menatap diam-diam temannya yang sudah tidak sabar melihat
aksinya, melihat kembali pada ibu guru dengan tatapan memohon, untuk
sekarang ini tak perlu lah dia naik, ibu guru tak merespon, tatapan
teman-teman menekannya untuk segera beraksi, dia melangkah dengan penuh
beban, kulitnya mengerucut, tapi tak berkeringat.
"Silahkan Husain, perkenalkan pahlawanmu ke teman-teman…"
"Paling cibi maruko chan bu.."
Wuakakakakaka…..
"upin-ipin..! kan tivi dirumahnya Cuma bisa dapat siaran mnc…!!!
Wuakakakakakaka….!!!!!!
Gemuruh kembali menggelepar, disertai hentakan meja yang
bersahut-sahutan, bahkan ibu guru harus menyentak mistarnya lebih dari
sekali untuk menenangkan, Husain terpaku, jari-jari tangannya kaku
menarik ujung baju, entah kenapa kantong ketawanya mengempis, hingga
bibirnya malah mengatup keras layaknya jahitan, saat diam dan tenang
barulah ia bersuara dengan nada yang begitu pelan.
"P..p…pahlawan ku… ii..i.bu…
i..ibu ku…
ibuku…."
seketika hening menerpa.. tangan-tangan yang sedari tadi tak lelah-lelah
menghantam meja tergelatak mati diatasnya, suara terkunci, semua mata
termasuk ibu guru sepenuhnya menatapa tajam dan heran pada husen yang
baru berucap ibu, telah meneteskan air mata, husen segera tertunduk,
mencoba menenangkan hatinya yang telah berkecamuk, dan kini di kelas,
cerita itu mengalir pelan namun riaknya deras, membuat kontes lawak
bubar, berganti putaran nostalgia, mempertontokan salah satu sudut
kepahlawanan yang memilukan, serasa husen ingin berkata, "siapa bilang
pahlawan itu selalu super?"
***
Satu malam pada beberapa tahun yang lalu, sekelompok pria berpakaian
gamis mendatangi rumah yang terletak di tengah-tengah sawah,
kedatangannya mendadak, hingga si tuan rumah tak bisa menduga, gerangan
apa yang menyebabkan mereka datang di waktu enak-enak bercengkrama
dengan keluarga.. tujuan itu tersimpan rapi di wajah-wajah mereka yang
senantiasa tersenyum, di ruangan tamu yang remang itu, mereka mencoba
berbasa-basi terlebih dahulu, melelehkan suasana, tapi tetap rasa
penasaran menusuk-nusuk sikap yang sedari tadi seolah acuh, dan
cicak-cicak pun tau, ini awal kehidupan.. mereka kembali kesarangnya
untuk mengurus telur-telur yang hampir menetas
"langsung pada intinya, disini bu.. kami mewakili sodara ahmad, ingin
mempersunting lina keponakan ibu.. sebagai perwujudan jihad seorang
muslim menyempurnakan imannya dan membentuk keluarga muslim yang
mawaddah"
Mendengar pengakuan itu, rasa penasaran lenyap berganti khawatir yang
menjerat, bukannya apa, bukannya tak suka, tapi ini betul-betul
mendadak.. harusnya tidak langsung seperti ini, karena dia sendiri
menyadari tidak punya hak atas keponakannya dalam hal ini, tapi ia tak
enak dan takut disalah artikan jika mengatakan penolakan sehalus apapun
"mari kita bicarakan lebih lanjut dalam perpustakaan rumah, anak-anak sedang nonton, saya akan panggilkan suami saya dan lina"
"tolong di ambilkan hijab bu"
"tidak masalah"
Ruangan yang di kelilingi lemari buku itu kini terbagi dua, dibatasi
oleh gorden biru yang memanjang, sisi satu di isi mereka, laki-laki
bergamis yang kali ini tak tersenyum sedikit pun, sedang di sisi satunya
dua pasangan paruh baya dan seorang wanita berjilbab panjang sedang
duduk, kepalanya tertunduk, menenangkan hati yang bergejolak
"kau kenal ahmad ini nak.."
Ibu itu memulai percakapan
Lina mengangguk..
"Seberapa kenal kau dengan dia.. keluarganya.. riwayat pendidikan dan kehidupannya"
Lina terdiam.. lama.. seorang pemuda di balik sana mengerutkan dahi, ia
sedikit tersinggung, serasa ibu itu ingin menelanjanginya, semua tak
sesuai harapan, kiranya akan berjalan mulus dan mudah.. tapi tidak
demikian, kali ini suasana berubah mencekam
"dalam islam, dua orang pasangan yang ingin menikah harus mengutarakan
perihal hidupnya secara jujur.. agar di kemudian hari tidak ada
penyesalan dan rasa tertipu.. "
"Sebagai perempuan.. biar lina yang duluan.."
Pemuda itu memotong..
ibu itu tertohok dan segera ingin menyanggah.. kenapa tidak dia yang
duluan, merasa lebih tinggikah.. harusnya sebelum berani melamar, dia
cari tau sendiri wanita yang ingin dijadikan pasangan, agar bisa sesuai
keinginannya dan mantap dalam hatinya.. tapi bapak yang duduk di
sampingnya memegang tangannya.. ia menenangkan istrinya yang gelisah
karena keponakan, yang kali ini dalam pilihan membentuk kehidupan baru,
tidak main-main, suaminya tau rasa gelisah yang lahir dari sikap
tanggung jawab istrinya, dan untuk kali ini, dia ingin mendamaikan
istrinya dengan genggaman positif dan senyum, seraya ingin berkata
"tenang… semua akan baik-baik saja, kita hadapi bersama"
"Nak lina, silahkan.."
Lina bicara terbata-bata, memilih kata-kata dengan tepat, secara polos
dan tentunya jujur,, dia tidak melebih-lebihkan tidak pula
mengurang-ngurangi.. dari bibirnya keluarlah pengakuan, terlahir sebagai
anak kedua dari keluarga sederhana di sudut kampung palopo yang agak
terpencil, diantara sodaranya, pendidikannya yang kali ini paling
tinggi, kakak pertamanya meneruskan empang keluarga, adeknya juga
belajar di Makassar, tak ia tutup-tutupi, keluarganya miskin, empang tak
bisa menghidupi kehidupan anak-anak yang di tinggalkan orang tua, untuk
itu dia usaha menjahit kecil-kecilan untuk memenuhi biaya sekolahnya
dan adiknya.. dia mengenal ahmad dengan sangat minim informasi, hanya
lewat perkataan temannya, di tempat kuliahnnya, al-irsyad sana.. itu pun
karena temannya adalah adik ahmad, dan dari situlah lina di beritau
bahwa kakaknya akan meminangnya, tapi tak jelas kapan… hanya itu.. tak
lebih..
Lina mengeluh pelan, matanya terpejam, dalam hati terbersit lafadzh
"Alhamdulillah" berterima kasih kepada Allah atas karunia kekuatan
hingga bisa mengungkapkan semua dengan apa adanya dan berharap penuh
kepada Allah
"jika ia baik.. dekatkan ya Allah, namun jika buruk.. jauhkan secara baik.."
Kali ini, giliran ahmad yang berbicara, mulanya bicaranya lantang, penuh
percaya diri, namun tidak terkesan sombong. dia biasa di sebut ustad,
menjadi salah satu aktifis dalam lembaga al-irsyad dimana lina belajar
sekarang, keluarganya cukup terpandang, beberapa keluarganya tinggal di
Jakarta, di Makassar, orang tuanya meninggalkan sebuah rumah buat dia
dan sodara-sodaranya..
Mendung menggelayut pada hamparan langit, saat bias sabit tak mampu
menembus celahnya, jangkrik-jangkrik kesal bersahut-sahutan, karena
khawatir ular mengendap memakan dirinya yang kini bersembunyi di balik
builr padi menunduk dan hampir menguning. Entah kenapa. Ahmad berhenti
sejenak.. meski tak terlihat, setiap selipan buku tau, dia kini
terpejam, nafas panjang dia tahan, sepertinya dia menahan sesuatu yang
tak ingin dia utarakan.
"saya duda.. dan sudah punya satu anak perempuan, dua bulan kemarin kami cerai, tapi belum sah di pengadilan"
Suara itu merambat pelan menulusuri aliran darah ibu paruh baya hingga
menciptakan gelombang kedalam jantunnya, detakannya makin terasa
kencang, matanya sedikit membelalak menunjukkan ekspresi kekagetan,
lina..?? dia masih saja tertunduk… tapi, untuk beberapa saat, matanya
tak berkontraksi, ia mencerna dengan baik, mengulangi ketetapan hatinya.
"jika ia baik.. dekatkan ya Allah, namun jika buruk.. jauhkan secara baik.."
Kali ini ibu itu kian tak sabar, ia tak mau mengambil resiko yang lebih
dari ini, lina datang ke tempatnya untuk belajar, sebagai tante, dia
bertanggung jawab penuh atas kehidupan lina, bertanggung jawab, bukan
berarti memiliki hak atasnya, apalagi untuk urusan pernikahan, pintu
baru kehidupan. ini harus di rundingkan dengan keluarga yang lebih
berhak menjadi wali lina
"sodara ahmad yang baik, sebaiknya persuntingan ini kita tunda dulu,
karena masih banyak yang harus di perjelas, saya minta maaf, bukannya
kami menolak, tapi biarkan lina memikirkannya dan memberitahu
keluarganya di kampung.. apalagi status nak ahmad ini….
Tiba-tiba genggaman suaminya mengeras, ia menoleh pada suaminya yang
kali ini terlihat serius, dan menggeleng pelan.. suasana berhenti,
bahkan angin tak berhembus, rintik hujan menelusuk di balik jendela yang
beruap.. hawa dingin menerobos, tapi dalam perpustakaan itu, semakin
panas saja, aura penekanan dan kegelisahan menyeruak membelah terpaan
angin malam yang di hempaskan anak rinai hujan..
"kalo gitu kami pamit pulang, assalamu a'laikum"
Ahmad berdiri pertama, tanpa menoleh, langsung membuka pintu dan tak ada
semenit telah berdiri mematung di luar pagar rumah.. teman-temannya
merasa tak enak, apalagi, suami dari ibu ini merupakan salah satu
pengajar di al-irsyad
"haduh.. kami minta maaf atas sikap ahmad ustad"
"Tidak pa-pa… sampaikan minta maaf kami kepada Ahmad, jika jodoh, tidak akan kemana"
Suami itu melepas senyumnya di balik remang ketegangan, tetamunya telah
tertelan gelap, ia mengunci pagar dan menutup pintu.. kemudian berdiri
diambang pintu perpustakaan, menatap istrinya yang masih saja dalam
kegelisahannya, dan pada lina, yang masih saja tertunduk sedari tadi.
kemudian bapak itu, berlalu dengan meninggalkan senyum pada istrinya.
masih saja menyiratkan ketegaran "semua akan baik-baik saja"
"kapan kau akan ke kampung nak"
"kalo bisa besok tante.."
Ibu itu ingin berkata panjang lebar, tapi dia sadar, saat ini
keponakannya masih terombang-ambing dalam dilema perasaan, apalagi
merasakan sikap ahmad yang kurang bersahabat..
"terserah kau.. kamu bukan anak kecil lagi.. sudah tau yang mana baik
dan buruk.. Cuma sebagai tante layak untuk memberi mu nasehat, dan
perlindungan.. tante mana yang mau melihat keponakannya tidak baik..
maaf jika perlakuan tante tadi kurang menyenangkan hatimu.."
Kali ini lina mendongkak kan kepalanya, menatap tante yang sudah dianggapnya ibu sendiri.. lalu tersenyum penuh ketenangan..
"tidak tante,, saya harusnya berterima kasih.. tante sudah bersikap tegas, yang itu belum tentu bisa saya lakukan"
Mendengar itu, ibu paruh baya membalas senyumnya, lalu membelai pelan
keponakannya, dan berlalu menemui anak-anaknya yang tertidur di depan
tivi. Lina masih terduduk lemas, pandangannya tiba-tiba kosong.. raut
wajahnya renyuh menatap pembatas horden, seakan membayangkan sosok ahmad
yang terlihat cemas di balik sana.. sekejap air matanya keluar, entah
karena apa..
***
Kelas itu hening seketika.. mata anak-anak kelas 4 tak bergeming menatap
temannya Husain yang bercerita begitu serius dan penuh penghayatan..
kali ini tak ada ketawa, tak ada meja yang dihantam keras, tak ada
mistar panjang yang memukul papan tulis untuk menenangkan, hanya ada
diam dan hening..
"lina itu ibuku.."
***
Dentuman guntur memecah hening yang tercipta oleh gelapnya mendung,
hujan telah turun, lina pun telah memanaskan air, sambil membuat sepanci
bubur kacang hijau, buat suaminya yang akan pulang sore ini, dan juga
buat sodara-sodara ahmad yang akhir-akhir ini mulai berani
menyuruh-nyuruh lina dengan bentakan, seakan dia hadir sebagai pembantu
di rumah tersebut, tapi lina tak mempermasalahkannya.
"abi.. hangatkan dulu badanmu, sudah ku siapkan air hangat, sementara
kau mandi, ku ambilkan semangkok bubur kacang hijau yang telah ku
campuri jahe.."
Lina tersenyum melihat suaminya yang bergerak malas ke kamar, sepatu
suaminya ia letakkan di samping pintu masuk, payung yang masih tergerai
di lipat dan di kibas-kibaskan, lalu dia menutup pintu dengan pelan,
bersama dengan tetes-tetes air hujan yang bergelayut di ujung payung,
lalu turun perlahan meniti lantai-lantai rumah saat lina menuju dapur,
menyiapkan semangkok bubur kacang hijau, lalu menuju kamar, dengan sabar
duduk di tepi ranjang yang tak terlalu besar, tangannya tak lepas dari
penutup mangkok, dan matanya tak bergeming dari pintu kamar mandi,
menunggu suaminya selesai menyegarkan diri dengan hangat air yang dia
panaskan tadi.
"pelan-pelan abi.. buburnya masih sangat panas.. bisa-bisa lidahmu terbakar, sini biar ku suapi"
"tidak perlu"
Lina masih memandang suaminya yang meringis kepanasan, dia bergeser
sedikit mendekati suaminya, dan perlahan mengipas-ngipas bubur dengan
penutup mangkoknya, khawatirnya tak lepas dari ahmad.. jika bisa, dia
pun akan meminta untuk membagi rasa panas yang di rasakan ahmad, meski
karena itu, lidahnya pun akan terasa kelu.
"aku ingin berhenti jadi diler motor"
Ahmad memberikan bubur kacang hijau yang belum habis itu pada lina,
mendegar itu, lina tersentak, namun disembunyikan kekagetannya, perlahan
dia meletakkan mangkok tersebut diatas meja belajar keponakannya.
"ada masalah yah?"
"tidak"
"lalu?"
"aku Cuma ingin mencari pekerjaan yang lebih berarti.. jadi diler motor sama seperti jadi satpam bagiku.."
"tentu beda.. dari pendapatan pun sangat jauh…. Lagi pula sekarang sulit
mencari pekerjaan yang memadai buat penghidupan.. kalo abi berhenti,
cari pekerjaan susah lagi, mana motor belum lunas kreditannya"
"yang begituan tidak perlu kau pikirkan.. itu jadi tanggung jawabku..
aku juga berencana mencari kontrakan yang memadai, meski kau tak pernah
bilang, aku tau, sodara-sodaraku sudah berlaku kurang baik kepadamu"
Lina tersnyum.. sedikit perhatian suaminya, bagi istri seperti lina,
bagaikan sebuncah kebahagian yang tak tergantikan oleh momen apapun
"tidak apa-apa, tak bisakah kau tunda dulu?, ada hal yang lebih penting
dari itu yang harus kita pikirkan.. persiapan buah hati kita.. tentunya
butuh biaya yang tak sedikit.."
Ahmad tak menggubris, ia langsung saja merebahkan badannya diatas kasur.. sekejap matanya terpejam..
"yah.. terserah abilah.. aku ikut suamiku"
Lina pun ikut merebah di sampingnya. memandang punggung suami yang
membelakanginya, rambut suaminya ia belai begitu pelan. satu setengan
tahun semenjak keluarganya di kampung mempercayakan dirinya di atas
pundak ahmad, satu setengah tahun saat lina mendapatkan status cerai sah
dari ahmad dengan istri pertamanya, dan memantapkan dirinya untuk siap
menjadi pendamping yang setia, menjadi partner hidup hingga ajal
menjemput, satu setengah tahun saat dia mulai menapaki kehidupan baru
bersama ahmad, lelaki yang berbagi kehidupan dengannya. kini, meski
hidup serba tak kecukupan, dia tak bermuram durja, gaji yang di dapat
ahmad tergolong di bawah standar, meski begitu lina tak pernah mengeluh,
toh lina juga ikut membantu suaminya dengan melanjutkan usaha
jahitannya, asal ada ahmad di sampingnya, semua bisa dilewati, asal ada
ahmad yang menggandengnya lelah tak terlalu membebani.. jika mengurus
diri sendiri sudah sangat susah, bukan berarti hidup berdua akan lebih
susah.. karena ternyata rasa tanggung jawab dan pedulia memberi kekuatan
tersendiri, tidak tau dari mana, tapi itulah cinta menurut lina. dan
buat anak yang akan lahir, lina bertekad akan menjadi lebih kuat
berlipat-lipat, asal dengan ahmad..
***
Husain berhenti sejenak, mengatur dadanya yang bergemuruh dengan tarikan
nafas panjang, lalu memandang ke sekeliling kelas, melihat
teman-temannya yang sedari tadi telah memusatkan seluruh panca indra
mereka pada cerita Husain, entah kenapa ,perhatian itu memberi kekuatan
lebih padanya, memberikan dia sebuah keyakinan, bahwa, meski pahlawannya
kali ini berbeda dengan yang lain, pahlawannya tidak bisa berubah,
tidak punya sinar super dari kedua matanya, tidak memakai stelan yang
keren.. tapi tetap.. pahlawannya jauh lebih hebat.. jauh lebih super..
dan lebih nyata dan patut untuk dikenang.
"di ibu kota, aku pun lahir"
***
Lina tergopoh-gopoh ke meja makan, kandungannya sudah mencapai Sembilan
bulan, beratnya minta ampun.. serasa dua kelapa besar diikatkan ke
perutmu dan mutlak dibawa kemana saja, hingga saat kau mencoba untuk
memengeluarkan air seni sekalipun. perhatikan..!! dalam sudut ini,
perempuan beribu-ribu kali lipat kuat dan sabarnya dibanding laki-laki,
dalam keadaan ini perempuan beribu-ribu kali lipat mulianya dibanding
laki-laki, mereka dekat dengan surga, mereka dengan dengan berkah.. dan
itu disadari lina.. hingga bukan keluhan yang lahir dari raut wajahnya,
tapi kesenangan yang tiada tara, garis-garis kesabaran yang tergores
indah di permukaan dahi dan kantong mata yang semakin membuatnya manis..
serta segunung harapan pada jantung hatinya yang akan segera lahir,
menemani hari-hari dan mengisi daftar perjuangan berikutnya, tanpa lupa
selingan dari senyuman manja si buah hati saat di sentuh perutnya dengan
bibir ibu yang membuatnya geli.
"huh.. sia..sia.. mad..mad… datang ke Jakarta.. dah lebih 6 bulan,
kerjanya Cuma mondar mandir gak jelas.. habis itu ngabisin beras..
mending pulang dah ke Makassar.."
Kali ini paman ahmad berbicara lebih pedas dari malam-malam biasanya,
makan malam itu menjadi momok paling menjijikkan buat ahmad dan lina.
sadar bahwa dia menumpang, ahmad hanya bisa terdiam dan menelan makanan
yang terasa begitu pahit.
"si jery itu dah mau masuk tk lho.. mana anaknya manja banget, kalo beli
apa-apa selalu pilih yang mahal-mahal, mana kakaknya juga selalu iri
kalo adeknya beli barang baru, pasti juga kepengen..huh.. jadi om harus
hemat-hemat uang.. tapi.. yah gimana mau hemat uang.. kamunya datang…"
"kamu tau kan.. paman mu ini Cuma pensiunan pertamina.. buat beri makan
keluarga aja susah.. apalagi harus nanggung dua orang lagi yang gak
jelas kehidupannya"
Pyar…!! termometer kesabaran ahmad pecah..! air raksanya meloncat keluar
dan menetesi hatinya yang kini meleleh di amuk amarah.. sepontan ia
berdiri lalu menarik lina.. berusaha mengimbangi jalan ahmad, lina
memegang perutnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya
dicengkram keras oleh ahmad, sakit, tapi lina tahu suaminya lagi
meradang tegang, mukakanya memerah. Hingga cara ahmad mengeluarkan
seluruh pakaian mereka dari lemari seperti perampok mencari setitik
berlian dalam tempo tidak kurang dari 10 detik.. lina hanya bisa
terdiam, bukannya takut, dia hanya iba melihat suaminya, tapi menangis
pun bukan hal yang baik, karena hanya akan menjadi beban buat hati ahmad
yang telah terjepit oleh perkataan pedas pamannya. yah.. untuk kali ini
diam betul-betul menjadi emas, meski hatinya ikut merintih, tapi lina
menyembunyikannya dalam sikap diam, sambil membantu ahmad melipat
pakaian dan merapikan segala barang-barang mereka dengan cepat. tak
sampai 10 menit, seluruh barang telah siap diangkut. kali ini bertambah
beban lina melangkah keluar, tapi ahmad sudah dikuasai amarah, lina tak
ia gubris, langkahnya sangat-sangat cepat, tak menoleh atau berhenti
sejenak untuk melihat lina yang tertatih-tatih mengikuti langkannya
keluar, lina tetap diam dan sabar.
"mau kemana… habisin dulu makanannya"
Ahmad tidak bergeming, matanya malah memerah seperti hendak keluar,
urat-uratnya bermunculan, perkataan pamannya tadi bukannya terdengar
sebagai ajakan berdamai atau terbersit "jangan diambil hati.. aku tadi
Cuma bercanda" atau "ya. . tersinggung sih boleh, tapi gak sampai keluar
rumah lah.." malah terdengar seperti klimaks cemo'oh, penyempurna
sabetan-sabetan lidah pamannya malam itu.. apalagi ahmad yang dalam
kondisi seperti itu, segalanya terdengar salah, segalanya seperti
menghakimi, semuanya terdengar menjijikkan. bahkan mendengar kalimat
terakhir sudah cukup menjadi alasan buat ahmad untuk mematahkan leher
pamannya atau menusuk matanya dengan garpu. bukannya apa, kalimat itu
terdengar setajam silet. mengupas hingga tidak mengizinkan darah
menetes. bagi ahmad terdengarnya seperti "kalo gak malu ya.. dihabisin
dulu makananannya"..
huahh….!!!! Ahmad mempercepat langkahnya, sambil berteriak memanggil
lina.. yang saat itu malah semakin melambat, ahmad meradang, ia berbalik
kebelakang, ingin memuntahkan kemarahannya pada lina. tapi belum sempat
tamparan ahmad bersarang, lina telah tersungkur dan menjerit..
"anakku-anakku"
***
"di saat itu aku lahir.. tapi yang mengantarkan adalah pamanku..
sementara ayahku entah lari kemana.. hingga 10 hari di rumah sakit,
barulah ayah datang, dan meminta maaf pada ibu.. ibu tidak bilang
apa-apa.. malah menanyakan kabar ayah gimana, tinggalnya dimana, makan
apa dan lain sebagainya.. ayah terlihat seperti malaikat, tak pernah
salah dan ibu juga terlihat seperti malaikat, tak pernah protes, tak
punya marah, kerjanya hanya patuh..patuh..patuh.. terkadang cinta
membuat orang menjadi malaikat dan diri sendiri juga menjadi malaikat..
"Tidak cukup seminggu di rumah sakit, ayah mengajak ibu pulang ke
Makassar, hemm.. sebenarnya bukan mengajak, Cuma sekedar pemberitahuan,
karena mau tidak mau, pasti ibu harus ikut, tapi setidaknya ayah
menepati satu janjinya, mencarikan rumah kontarakan sederhana buat ibu
dan aku yang baru lahir. Namun, lagi-lagi tidak sebanding, satu janji
yang di tepati di bayar beribu perhatian yang hilang, ayah sering tidak
pulang,, bahkan sampai berhari-hari. hingga di mataku selalu terisi
wajah ibu, ayah jarang sekali, yang ku kenal hanya panggilan dan candaan
khas ala ibu, ayah hanya sesekali mencium ku ketika datang lalu lenyap
lagi entah kemana. mungkin karena itu ibu mulai sakit-sakitan, badannya
kurus, tulangnya hampir sama besar dengan tulangku, kerjanya melamun di
balik pintu, Cuma sekali pancaran kebahagian yang terlihat dimata ibu,
yah.. ketika ayah muncul di balik pagar, ibu akan tersenyum lalu masuk
kamar dan menyisir rambutnya serta memakai wewangian.."
"2 tahun berlalu, barulah ayah memberi tahu pekerjaan barunya.."
"aku sekarang main sulap..!!"
***
Rumah ini hanya seluas kamar di rumah standar.. di sampinya berjejal
panjang dengan kamar yang setipe. tidak ada bunga, tidak ada pekarangan,
pembuangan sampahnya pun sangat dekat, hingga bau khas pecahan telur,
sisa bungkusan mie dan nasi yang tak habis dimakan bergabung menjadi
aroma tak sedap yang akan menusuk hidung 24 jam. buat orang baru,
sungguh akan menjadi masalah bahkan membuat mual, tapi buat yang telah
terbiasa, baunya seperti udara hambar yang senantiasa di hisap untuk
menyambung kehidupan, dianggap tak ada dan itu kini dinikmati lina dan
anaknya.
"kau terlihat sangat kurus.."
Ibu paruh bayah itu duduk, lalu menaruh buah-buahan yang baru dbelinya,
sambil memandangi keponakannya yang semakin memprihatinkan.
Lina hanya membalas dengan senyum sambil meraih tangan kanan tantenya,
lalu menjabatnya dan menciumnya sebagai bentuk takzim ataupun menandakan
dia merindukannya..
"ruangan ini sangat sumpek, harusnya kau beli satu kipas angin, kasihan
anakmu.. bisa-bisa kulitnya penuh dengan bintik-bintik keringat"
" gimana lagi tante, dasar kamarnya sempit, sumpek, fentilasi kurang,
jendela Cuma satu.. yah..gak pa-pa dari pada tidur dikolong jembatan
hehe.."
Ibu paruh baya itu renyuh menatap keponakan kesayangannya, mencoba
memahami dan mencari sedikit kekecewaan akibat keras kehidupan dari
matanya, tapi yang ia dapat hanya ketegaran dan kesabaran.. apakah semua
wanita seperti ini?
"suamimu diamana?"
"kerja"
"Kerja apa?"
"Katanya pesulap"
"sudah berapa lama tidak pulang"
"hampir 6 bulan"
Sepintas lina memandang keluar, menerobos celah waktu yang telah lama
berlalu, dan mendapati dirinya duduk diambang pintu tanpa ahmad
disisinya, berharap ahmad tiba-tiba muncul saat itu, lalu setidaknya ia
bisa merebahkan kepala barang sebentar di dadanya, menyandarkan
kelelahan yang mau tidak mau telah memenuhi hatinya. Tapi, waktu seakan
berkata padanya "jangan harap!".. baru kali ini ia merasa sakit.. sakit
sekali,, tepat disana, di segumpal daging yang berwarna merah darah..
kini air matanya merembes keluar dengan pelan, makin lama makin deras,
lelah yang harusnya disandarkan pada ahmad, terpaksa jatuh di pangkuan
tante lina, ia merebah sambil menahan isak"
"aku rindu suamiku tante.. sangat rindu.. aku tidak perlu dia pulang
dengan banyak uang, atau dengan mengendarai mobil, aku hanya ingin
dirinya.. perhatiannya.. belaian lembut tangannya.. itu sudah cukup,
bahkan jika aku yang harus kerja.. tak apa, asal dia tak lagi pergi.."
Kepala lina di belai pelan, ibu itu menyembunyikan air matanya, gemuruh
dada ia tahan sedemikian rupa, tak ingin ikut-ikutan menangis, meski di
hatinya, ia juga merasa dikhianati
"tidak perlu terlalu di pikirkan, nanti dirimu malah stress.. kasihan
anakmu, dia butuh lebih banyak perhatian.. kalo ibunya sakit, gimana
anaknya bisa dirawat.. kau masih punya simpanan kan..? uangnya ahmad
gimana? "
"simpanan ku masih ada, dari ahmad hanya terang bulan yang telah basi
dan ayam panggang yang dimakan kucing, setiap dia pulang, yang dibawanya
hanya bertumpuk-tumpuk makanan, padahal aku tidak perlu itu, yang ku
perlukan hanya uang yang bisa ku tabung untuk keluargaku.."
"coba kau komunikasikan dengan lebih baik.. insya Allah bisa.. kontrakanmu tinggal berapa hari nak?
"tinggal dua hari.."
"habis itu mau kemana? Ahmad tidak pernah bilang soal kontrakan"
Lina hanya menggeleng, lalu mengusap air matanya dan mengangkat kepalanya dari pangkuan, sambil terus terisak pelan
"pokoknya kalo kontrakanmu habis kau pulang ke kampung, disana banyak
sodaramu yang bisa membantu, kau lanjutkan kuliahmu dari jauh, jangan
terlalu berharap pada ahmad, ingat..!, anakmu butuh perhatian lebih
banyak., setelah itu cobalah mendaftar jadi guru.."
lina hanya terpaku.. menimbang-nimbang usulan tantenya.. dari hati kecilnya, ia berharap, ahmad segera pulang..
***
Bel tanda istirahat nyaring terdengar di setiap lorong sekolah..
anak-anak muntah berkeliaran dari kelas-kelasnya. hanya ruangan kelas 4
yang masih tertutup seakan terisolasi. Husain berhenti bercerita, ia
memandang teman-temannya yang masih memusatkan perhatian mereka pada
tutur husain. Husain lalu menoleh ke pada ibu, ibu pun mengangguk pelan
tanda memperbolehkan ia untuk melanjutkan cerita, sejenak Husain
menunduk dan terpejam, setetes air mata keluar dari matanya
"di kampung, pahlawan ku meregang"
***
Malam itu masih terasa dingin, bahkan menusuk hingga celah-celah bulu
halus di badan, serasa aliran darah hendak berhenti karena membeku,
husain masih asik memainkan tangannya dengan sisa rintik hujan,
telapaknya ia tengadahkan di bawah ujung genteng yang terus mengalirkan
sisa air, tetes demi tetes.
Kakinya makin lama makin bergetar, badannya yang sangat kurus seperti
kurang gizi, mulai berontak ingin masuk, akhirnya dia mengalah, berlari
kedalam rumah mengambil handuk, membersihkan tangan dan kaki serta
wajahnya yang terpercik tetesan hujan yang pecah menerjang permukaan
tangan. ia lalu mengambil sarung dan membungkus dirinya, sambil berjalan
kearah kamar ibunya, memandang ibu yang telah dua minggu terbaring
lemah diatas kasur. bahkan, seakan tubuh ibu jadi semacam cetakan diatas
kasur, rambutnya menguning karena keringat, pipinya masuk kedalam
mencetak dua benjolan dia samping keduan matanya, husain lalu merebah di
samping ibunya yang tersenyum melihat kedatangan anaknya.
Husan tak berkata-kata, ia hanya menatap pelan mata ibu yang terlihat
memerah dengan urat-urat kecil tak beraturan. ia telah tau sejak lama,
semenjak pulang kekampung, bercengkrama dengan keluarga, menyelesaikan
studi, lalu mengajar di sd sebagai guru matematika, jahitannya pun masih
saja dilanjutkan dan seabrek kegiatan lainnya, tetap ibunya masih
seperti dulu, masih menyisakan ruang rindu yang hampir meledak karena
suaminya tak kunjung ada, setiap ada waktu senggang, Husain selalu
melihat ibunya duduk di depan pintu melihat ke ruas jalanan yang besar,
tapi pandangannya lebih jauh dari itu, sambil sesekali melihat ke layar
hp, menunggu balasan dari suaminya yang tak kunjung datang.. persis
saat dikontrakan. senyumnya hanya kamuflase, riang dan semangat kerjanya
hanya tipuan, yang ada hanyalah hati yang meraung karena diamuk sunami
rindu yang menerjang tak kunjung surut.. ibu.. pintar betul
bersandiwara..
"kenapa liat terus..? ibu makin kurus yah..?"
Lina masih terus tersenyum pada husain, dan Husain hanya mengangguk..
memang dia terkenal sebagai anak pendiam namun jenaka luar biasa, kata
keluarga, mirip ibunya waktu kecil.
"yah.. kan ikut husainnya.. masa' anaknya kurus ibunya gemuk.. xixixi.."
Husain tersenyum renyah.. ledekan ibunya seperti satu kecupan di
pipinya.. ia lalu mendekap erat tubuh ibu, wajahnya dibenamkan dalam
dada..
"nak.. kau rindu abi?"
Husain sedikit tersentak.. jika bukan karena pertanyaan itu, mungkin dia tidak pernah ingat kalo dia punya ayah..
"mang abi kemana?"
"Kerja buat kita.."
"Ko' tidak pernah pulang.."
Lina hanya terdiam.. Husain pun tak ingin membahas panjang lebar..
kembali ia benamkan wajahnya.. tapi lina meneruskan pembicaraan..
"kamu sayang abi..?
"ibu sayang abi..?"
Husain balik bertanya.. lina hanya tersenyum semanis yang pernah dilihat Husain..
"ayahmu orang yang baik sekali.. jika tersenyum ketawanya semanis
dirimu, di pipi kirinya ada lesung pipi, jika marah dia hanya diam,
tidak pernah bentak sama ibu.. kau tau,, dia cari kontrakan buat ibu
karena sodara-saodaranya sering nyuruh-nyuruh ibumu.. ayah mu tidak
terima.. padahal ibu tidak pernah lapor lho.. hihihi.."
"katanya kontrakan kita dulu sumpek ya.."
Lina hanya tersenyum lebar, mengingat dan memperkirakan Gerangan apa
yang membuat mereka tahan tinggal di kontrakan bau itu.. mengenang itu,
seakan makan permen asin, namun tetap ada manisnya.. dan suasana pun
menjadi hening..
"aku sayang umayya (panggilan Husain pada ibunya..)"
Lina tersenyum.. dia membelai kepala Husain, ruas-ruas jarinya ia selipkan di antara rerimbun rambut anaknya yang lebat..
"jadi anak sholeh yah.. supaya ibu punya amal jariyah.. jadi, biar ibu
nanti meninggal, tetap dapat pahala.. jangan pernah berkelahi, apalagi
nyusahin tante dan pamanmu disini.. klo sudah besar, jangan mau kerja
empang, tapi lanjutkan sekolah di kota sampai professor.. hehe.. cari
istri yang solehah.. dan jangan sekali-kali ninggalin istrinya
lama-lama.."
"aku mau cari istri seperti umayya"
"hahaha.. kamu ini.."
Dahi lina mengeluarkan keringat yang banyak.. cetakan tulang-tulangnya
makin jelas di badannya yang tinggal terbungkus kulit.. tiba-tiba ia
mengeluarkan air mata..
"kenapa menangis..?
"tidak..tidak.. umayya Cuma berharap.. abimu bisa lihat kamu yang dah besar, yang dah ganteng dan pintar… "
"Dah..dah.. tidur.. besok kamu sekolah.. ""Aku sayang kamu nak.."
Lina mengecup dahi Husain.. dari ujung bibir lina, terasa suhu yang sangat panas, menembus dahi Husain hingga kekhawatirannya
"umayya panas sekali"
Lina hanya diam dan terpejam.. Husain tak bisa memejamkan matanya..
lama..sangat lama.. dia hanya memendang ibunya beserta bulir-bulir
keringat yang semakin deras membanjiri wajah dan badan ibunya. tiba-tiba
dari hidung ibunya merembes aliran darah tak henti.. Husain panik, ia
menggoyang-goyangkan badan ibunya.. ibunya tak bangun, masih saja
terpejam.. Husain berteriak..!! seluruh penghuni rumah terbangun dan
kaget, mereka berhamburan ke kamar lina lalu semakin terkejut melihat
kilatan darah merah yang sudah mencapai permukaan kasur.. dari
telinganya juga keluar darah rupanya.. lina digotong menuju kerumah
sakit, Husain dilarang ikut,, ia hanya terpaku di depan pintu, mencerna
kejadian yang sangat mendadak ini, mengingat percakapan terakhir dengan
ibunya, tentang ayah, anak sholeh dan sedikit jenaka yang tersisa, tapi
tidak bisa menguatkan jiwanya yang seketika ambruk melihat darah segar
menghitam tak berhenti mengalir..
Sejurus kemudian.. tantenya berlari, menghambur padanya.. memeluknya
erat sekali.. Husain merasakan hentakan badan yang naik turun tak
terkontrol dari tubuh tantenya..
"ada apa tante…? ibu.. kenapa..?"
Tantenya bergetar, mulutnya terbata-bata, tak seperti air matanya yang
merembes keluar layaknya hujan saat mendung menutupi bulan..
"sss…ssbar yah nn..nak.. uumm..aayyaa..mu …mm..menging..ggal.."
Husain terdiam,, tak berkedip.. sejenak badannya mati rasa.. bahkan ia tak menangis.. dengan sepontan ia berkata:
"aku ingin telpon abi…"
Sejurus kemudian.. tantenya telah memberikan hp lina pada Husain..
husain mencari no hp yang ia ingat berinisal "imamy".. akhirnya.. dia
menunggu jawaban dari ujung sana
"halo.. assalamu a'laikum.. "
"abi.. umayya meninggal.. ummayya meninggal.."
Tiba-tiba Tangisan Husain pecah dengan sangat keras.. menghantam dinding
kayu rumah itu.. orang-orang yang ada disekitarnya tak berani berbuat
apa-apa.. Husain telah tersungkur, terduduk di tempatnya berdiri..
"huhu.. abi.. pulang.. umayya meninggal.. umayya meninggal.. siapa yang
temani Husain lagi.. huhu.. sapa yang ajari husen ngaji.. pulang abi..
siapa yang belikan buku buat Husain lagi.. abi pulangg.. umayya..
meninggal.. huhuhuhuuuu.."
"maaf… anda salah sambung.. " tiittt…tiitt…tiitt…
"abi..pulang..pulang.. huhuhuhu.. puuulllllaaaannggggg….."
Tiittt….tiittt…
Husain meronta keras.. tantenya mememeluknya dan menenangkan.. seluruh
rumah kini terdiam tak sanggup lagi menangis, menyaksikan sebuah adegan
hidup yang begitu memilukan,, dan Husain tak berhenti menangis.. bukan
karena penolakan ayahnya.. tapi kepergian ibunya.. ia terus menangis..
hingga tertidur dalam jiwanya yang remuk redam..
***
Isakan pelan tertahan membahana dengan tenang di ruangan kelas 4,
seluruh siswa merunduk menyembunyikan air mata mereka, menyesal baru
menyadari, bahwa ibulah yang harusnya dianggap pahlawan.. meski tak
super,, dialah super sebenarnya.. husain pun begitu, ia masih saja
menangis, menahan suara yang harusnya meledak-ledak, tapi ia tak kuasa
membendung air matanya yang berhamburan.. melihat itu.. ibu guru yang
sedari tadi juga ikut menangis.. menerjang husain lalu memeluknya..
mengelus punggung Husain.. menenangkan.. Husain pun membalas pelukan
lebih erat.. membenamkan suaranya dalam pelukan ibu guru, menyebunyikan
air matanya yang tak berhenti mengalir, dalam hati ia merintih
"jangan lepaskan bu.. aku ingin dipeluk terus.. ingin di peluk
Jangan lepaskan"